Sabtu, 24 Juli 2010

Menghayati Rasa Orang Lain

JAKARTA, - Menghayati rasa orang lain (empati) adalah sebuah kualitas luhur. Istilah empati makin populer sejak Daniel Goleman menerbitkan bukunya, Emotional Intelligence (2005), merupakan salah satu aspek penting kecerdasan emosional. Apa yang dimaksud empati sebenarnya sudah diajarkan Suryomentaram sejak ia memperoleh pencerahan tahun 1927.

Praktik korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan (tanpa peduli hak orang lain) merupakan kejadian sehari-hari. Perilaku seperti itu merupakan wujud perkembangan pribadi egoistis: selalu mementingkan diri sendiri dan merasa paling benar (tidak mengembangkan rasa bersalah).

Menurut norma perkembangan kepribadian yang sehat, mestinya orang semakin dapat melepaskan egoisme setelah lepas masa remaja. Egoisme merupakan ciri khas yang melekat pada masa kanak-kanak, terutama usia 3-5 tahun, saat mulai berkembang kesadarannya akan “aku”.

Perilaku mementingkan diri sendiri juga meluas di kalangan masyarakat. Contoh adalah perilaku berkendara. Sulit menemukan pengendara yang rela memberikan kesempatan kepada pejalan kaki untuk menyeberang. Tahun ’80-an para pengendara masih memprioritaskan penyeberang jalan, cermin kepedulian terhadap pihak yang posisinya lebih lemah.

Dalam ranah domestik, egoisme terwujud dalam perilaku kesewenangan, kekerasan, ketidakpedulian, saling menyakiti, dsb. Kasus bunuh diri, membunuh anggota keluarga, merupakan contoh dampak fatal perkembangan kepribadian tak sehat. Mengapa kita mundur dalam perkembangan kepribadian? Bagaimana mengembangkan kepribadian sehat?

Mundurnya Sebuah Masyarakat Kepribadian seseorang merupakan ciri yang unik. Setiap orang berkembang dengan proses khas, memadukan faktor bawaan (genetik) dan faktor lingkungan. Bagaimana proses pembelajaran atas pengalaman yang dijumpai sepanjang hidup, regulasi terhadap tekanan (stres) yang dialami, dan pilihan nilai kehidupan, ikut menentukan kualitas kepribadiannya.

Tiga hal ini berkembangnya dalam diri seseorang dipengaruhi oleh orang lain, terutama budaya kelompok. Itulah sebabnya meski tiap orang unik, kita dapat juga menemukan kesamaan karakteristik individu dari suatu kelompok ma¬syarakat, dan perbedaan karakteristik yang cukup menonjol antara kelompok masyarakat satu dengan yang lainnya (stereotip).

Pengaruh lingkungan makro (masyarakat) terhadap seseorang akan memiliki efek yang serupa bagi individu dalam masyarakat yang kurang memberdayakan kapasitas pribadi, khususnya akal sehat (penalaran), pengelolaan emosi, dan spiritualitas.

Bila pengaruh dari lingkungan itu merupakan pengalaman penting (stresor maupun kejutan yang menyenangkan) dan individu mengadopsi pola respon masyarakat yang kurang sehat (egois, agresif, manipulatif, mementingkan status/kekuasaan, mengejar kenikmatan), tidak memberdayakan kapasitas pribadinya untuk sehat (akal sehat, pengelolaan emosi, spiritualitas), mereka ini akan larut dalam budaya massa yang tidak sehat atau bahkan mengalami disintegrasi kepribadian.

Tampaknya dinamika seperti itulah yang menyebabkan orang tidak dapat berkembang sehat. Banyaknya kualitas kepribadian individu yang tidak sehat dalam sebuah negara, terlebih bila meluas dalam lini kekuasaan, tentu saja menyebabkan kemerosotan negara secara keseluruhan.

Kemampuan Berempati Penjelasan lain mengenai pengaruh kepribadian warga negara terhadap maju-mundurnya negara, dapat kita jumpai dalam uraian Ki Ageng Suryomentaram, tokoh psikologi Jawa, mengenai ukuran keempat dalam hidup manusia. Ukuran keempat yang dimaksud adalah hidup manusia dalam hubungannya dengan perasaan. Ini merupakan tingkatan tertinggi yang semestinya dicapai dalam perkembangan kepribadian.

Mengenai kaitan antara ukuran keempat dengan maju-mundurnya sebuah negara, Suryomentaram menjelaskan: ”Kekurangan dalam perkembangan ukuran keempat ini, sering menyebabkan perkembangan negara-negara yang mula-mula membubung hingga gilang-gemilang, kemudian kian merosot, suram, hingga jatuh. Perkembangan negara-negara tersebut sebentar menjulang tinggi, sebentar menurun jatuh”.

Penjelasan Suryomentaram mengenai kepribadian memuat konsep dan sekaligus panduan untuk mengembangkan kepribadian sehat. Hal ini akan membantu kita mendapatkan jawaban mengenai bagaimana mengembangkan kepribadian sehat. Konsep-konsep Suryomentaram sebagian telah menjadi bahan kajian dan penelitian ilmiah psikologi dan dinyatakan relevansinya untuk masa kini.

Beberapa di antaranya oleh Darmanto Jatman, tesis 1985 dan pidato pengukuhan guru besar 2008; Nanik Prihartanti, disertasi 2003 dan beberapa karya ilmiah lainnya; Nilam Widyarini, naskah semiloka 2008; maupun penelitian-penelitian dan kajian ilmiah dari bidang filsafat dan antropologi.

Mengenai ukuran keempat, Suryomentaram menjelaskan bahwa ini merupakan salah satu dari tiga alat manusia yang perlu dididik. Bila tidak dididik, perkembangannya tak akan wajar. Alat yang perlu dididik adalah hati, pikiran, dan ukuran keempat. Hati adalah alat untuk merasakan rasanya sendiri (rasa yang dialami); pikiran adalah alat untuk berpikir; dan ukuran ke empat adalah alat untuk merasakan rasa orang lain (kini disebut empati).

Hati Hati sebagai alat untuk merasakan rasa pribadi, bila tidak cukup dididik tak akan berkembang wajar, sehingga sering keliru merasakan rasa yang dialaminya. Kekeliruan itu disebabkan bercam¬purnya berbagai rasa (intinya enak/senang dan tidak enak/senang) secara tidak teratur. Memisahkan rasa yang bercampur secara tidak teratur itu adalah salah satu latihan untuk mendidik hati.

Contohnya orang berjudi. Ketika menang merasa enak dan senang, tetapi rasa senang ini bercampur gelisah, takut kalah, dan nafsu mempertahankan kemenangan. Sekalipun idamannya tercapai (mestinya senang) tetapi timbul kekhawatiran kalau terlepas lagi, rasanya tidak enak. Rasa yang bercampur seperti ini seringkali tidak disadari.

Pada hakikatnya tindakan manusia semata-mata menurut bagaimana ia menanggapi rasa yang dialami. Bila tanggapannya keliru, tindakannya pun keliru. Karena itu, hati harus dilatih untuk memisahkan rasa suka dan duka (susah) atau bahagia dan derita, supaya dapat menanggapi dan bertindak secara tepat.

Pikiran Dalam pergaulan, banyak perselisihan terjadi karena kekeliruan dalam berpikir. Membina pikiran dapat dijalankan dengan memisahkan antara benda dalam arti umum (abstrak; tidak dapat disebut jumlahnya, tidak dapat dilihat, tidak bergantung tempat dan waktu) dengan benda terperinci (barang jadi, yang dapat dihitung jumlahnya, dapat dijelaskan bagaimana wujudnya, di mana, bilamana); memisahkan pikiran dari rasa; memisahkan pemikiran mengenai rasa yang dihayati dengan rasa yang menghayati. Penjelasan mengenai hal ini selengkapnya memerlukan uraian panjang, sehingga akan dijelaskan tersendiri pada lain kesempatan.

Ukuran Keempat Manusia dapat menghayati rasa sendiri dan rasa orang lain. Rasa orang lain dan rasa sendiri dua-duanya terdapat dalam rasa sendiri. Jadi, rasa manusia berisi rasa sendiri dan rasa orang lain. Bila rasa sendiri dan rasa orang lain tercampur-baur, akan keliru menghayati rasa orang lain.

Contohnya, seorang laki-laki pergi beberapa hari. Ketika pulang ia mendapati istrinya sakit perut. Laki-laki itu kecewa, dan rasa kecewa ini menyebabkan ia tak dapat menghayati rasa sakit istrinya. Kepentingan sendiri merintangi orang untuk menghayati rasa orang lain (berempati).

Meskipun tampak sederhana, ukuran keempat ini sangat penting dalam menentukan kualitas kepribadian kita. MM Nilam Widyarini M.Si Kandidat Doktor Psikologi



Sumber
KOMPAS.com

Mau dapat uang Gratis, dapat kan di http://roabaca.com/forum/index.php/topic,87.0.html

Artikel Yang Berhubungan



0 komentar:

LABELS

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

Lijit Search Wijit

Blog Archive