Rabu, 12 Mei 2010

Warga Tak Paham DBD


Pasien demam berdarah dengue yang masuk ke rumah sakit umumnya terlambat dan sudah dalam kondisi buruk sehingga sulit untuk ditangani. Keterlambatan itu terjadi karena masyarakat menganggap gejala penyakit itu sebagai demam biasa.

Masyarakat belum banyak yang menyadari bahaya demam berdarah. Sebagian dari mereka menganggap gejala demam yang mereka alami hal yang biasa.

”Anak saya sudah lemas sejak Jumat minggu lalu. Sebelumnya, saya mengira kena tifus. Tetapi, setelah tes darah, ketahuan kalau demam berdarah,” kata Mahfun (34), warga Petukangan Utara, Kecamatan Pesanggarahan, Jakarta Selatan, di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati, Selasa (11/5).

Serangan demam di sekitar tempat tinggal Mahfun sudah terjadi sebelumnya. Dua tetangga Mahfun terserang DBD. Tidak lama kemudian anaknya, Elma Sifa (10), terserang juga. Mahfun baru membawa Elma pada Senin (10/5) lalu ke RSUP Fatmawati.

Mahfun kini pasrah, tim dokter RSUP Fatmawati memberikan bantuan infus kepada Elma di Ruang Teratai di lantai 3. Elma mendapat perawatan bersama pasien lain dalam satu ruangan. Pihak rumah sakit sengaja tidak memisahkan pasien DBD dengan pasien lain karena penyakit ini tidak menular.

Berdasarkan data medis RSUP Fatmawati, sejak Januari hingga minggu kedua Mei ini, sudah ada 1.182 pasien yang menjalani perawatan. Dari jumlah ini, 804 pasien dewasa berusia 17 tahun ke atas dan 378 pasien anak-anak yang berumur kurang dari 17 tahun.

Di RSUP Fatmawati tercatat sembilan orang meninggal dunia karena serangan DBD dalam kurun waktu yang sama. Pasien meninggal terbanyak pada bulan Januari, yaitu tiga orang, sedangkan di minggu kedua Mei ini saja sudah ada dua pasien yang meninggal dunia.

Kepala Humas RSUP Fatmawati Atom Khadam mengaku, rata-rata pasien DBD yang masuk ke rumah sakit sudah mengalami pendarahan. Lantaran itu, petugas medis langsung memasukkan mereka ke ruang intensive care unit (ICU) untuk pasien dewasa dan ruang pediatric intensive care unit (PICU) untuk pasien anak-anak.

”Penanganan pasien tidak boleh terlambat karena bisa berakibat serius. Ujung tombak perawatan sebenarnya ada di tingkat puskesmas. Tim medis puskesmas harus cepat mengambil tindakan jika pasien semakin parah dan tidak memiliki sarana rawat inap, mereka harus cepat merujuk ke rumah sakit terdekat,” ujar Atom.

Atom mengingatkan agar masyarakat mewaspadai angka kematian pasien DBD yang terus bertambah. Warga agar cepat memeriksakan kesehatan ke puskesmas terdekat jika demam, apalagi demam berlangsung lebih dari dua hari berturut-turut.

Di Kota Depok, pasien DBD terus bertambah menjadi 1.307 orang sejak Januari hingga minggu kedua Mei ini. Jumlah ini lebih banyak dari pekan lalu, yaitu 1.204 orang. Adapun korban meninggal dunia bertambah satu orang menjadi empat pasien. Kepala Bidang Pencegahan Penanggulangan Penyakit dan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Kota Depok Ani Rubiyani menghimpun data ini dari 33 puskesmas.

Apartemen

Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat Yenuarti Suaizi, yang dihubungi terpisah kemarin, mengingatkan, beberapa penghuni apartemen dan rumah mewah di Jakarta Barat sudah menjadi korban DBD. Meskipun demikian, pihaknya sulit memantau.

”Kami sulit memonitor karena mereka enggan menerima jumantik (juru pemantau jentik). Oleh karena itu, kami mengingatkan, permukiman bersih dan mewah bukan tempat bebas DBD oleh karena itu harus dikontrol,” katanya.

Yenuarti mengatakan, tahun ini jumlah korban DBD terbanyak di Jakarta Barat ada di Kecamatan Cengkareng, Kecamatan Kembangan. Tahun lalu, jumlah korban DBD terbanyak di Jakbar adalah warga Kecamatan Kebon Jeruk. (NDY/WIN)



Sumber
Jakarta, Kompas
Mau dapat uang Gratis, dapat kan di http://roabaca.com/forum/index.php/topic,87.0.html

Artikel Yang Berhubungan



0 komentar:

LABELS

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

Lijit Search Wijit

Blog Archive