Senin, 03 Mei 2010

Korban Alergi Obat

Minggu, 8 November 2009 | 02:55 WIB

dr Samsuridjal Djauzi

Saya mengalami radang tenggorok dan berobat ke dokter dekat rumah. Saya mendapat terapi antibiotik, antidemam, dan obat alergi. Dua hari setelah itu timbul kemerahan di kulit dan mata terasa gatal. Kemerahan bertambah dan saya kembali ke dokter. Dikatakan saya menderita alergi obat. Obat antibiotik dan obat demam dihentikan dan diberi obat alergi yang lebih kuat.

Ternyata kemerahan di kulit bertambah dan kali ini disertai kemerahan pada mata serta bintik bintik di kemaluan. Saya jadi khawatir dan kembali ke dokter saya. Kali ini dokter saya merasa perlu merujuk ke dokter spesialis penyakit dalam karena menurut beliau alergi saya termasuk berat.

Dokter spesialis penyakit dalam kemudian menganjurkan saya dirawat karena khawatir terjadi Sindrom Steven Johnson yang merupakan bentuk alergi berat. Saya menuruti nasihatnya dan ternyata memang kelainan kulit bertambah. Merahnya seperti bekas terbakar disertai gelembung. Bibir saya kering dan mulut juga ada luka-luka. Kelainan di kemaluan juga bertambah dan sekarang timbul gelembung cair.

Saya sulit makan sehingga mendapat infus dan obat diberikan melalui suntikan. Saya sungguh tak menyangka bisa mengalami kelainan seperti ini, padahal saya sudah patuh pada semua perintah dokter.

Ilmu kedokteran sudah maju sekarang, apakah alergi obat tidak dapat diramalkan? Apakah ada tes untuk mengetahui apakah seseorang alergi terhadap suatu obat atau tidak? Jika alergi obat terjadi, kenapa tak dapat dikendalikan meski sudah diketahui sejak dini?

Saya dirawat delapan hari dan keluar dari rumah sakit dengan keadaan kulit belum pulih. Untunglah keadaan mata tak parah dan cepat pulih, begitu pula dengan organ vital saya. Saya hanya sopir taksi, biaya pengobatan di rumah sakit membebani keluarga. Istri saya terpaksa menjual gelangnya.

Terima kasih atas penjelasan Dokter.

M di B

Alergi obat memang sulit diramalkan, tetapi kita dapat berusaha mengurangi risiko terjadinya. Caranya dengan menggunakan obat jika perlu saja.

Alergi obat dapat timbul pada obat yang diresepkan dokter, tetapi juga dapat terjadi pada obat bebas yang biasa dijual di warung. Jika penggunaan obat tidak sering dilakukan tentu risiko alergi juga menurun. Cara lain adalah setiap orang mencatat obat yang pernah menimbulkan alergi pada tubuhnya. Meski ada obat yang digolongkan berisiko tinggi menimbulkan alergi obat, timbulnya alergi obat pada seseorang dapat disebabkan obat yang berbeda.

Selain nama obat, perlu juga diketahui nama generiknya karena nama dagang obat berbeda, padahal isinya sama. Misalnya obat parasetamol (nama generik) tersedia di apotek dalam beberapa merek lain. Jika seseorang alergi terhadap suatu merek, kemungkinan dia juga akan alergi terhadap kedua merek tersebut karena keduanya mengandung parasetamol.

Risiko alergi terhadap suatu obat berbeda-beda. Obat sulfa, misalnya, termasuk sering menimbulkan alergi. Karena itu sebelum memakai obat ada baiknya dokter bertanya kepada pasien adakah pengalaman alergi obat. Jika ada dengan obat apa.

Seperti yang Anda alami, tidak mudah menetapkan obat mana yang menimbulkan alergi jika Anda minum beberapa obat bersamaan. Mungkin alergi terhadap antibiotik, tetapi bisa juga terhadap obat demam. Sebaliknya pasien yang pernah mengalami alergi obat jangan lupa menyampaikan pengalamannya kepada dokter agar tak diberi obat serupa.

Dalam hidup kita tak mungkin bebas dari obat. Tetapi, penggunaan obat harus dilakukan rasional, minum obat atas indikasi yang tepat. Kejadian alergi obat semakin sering karena jumlah obat yang tersedia bertambah terus dan pasien yang menggunakan obat di Indonesia juga banyak. Karena itu, dokter dan pasien perlu menyadari, jika diperlukan obat kita dapat memetik manfaat obat tersebut, juga menghadapi risiko efek samping, termasuk alergi obat. Kesadaran ini tidak perlu menyebabkan kita takut minum obat, tetapi kita harus hati-hati, gunakan hanya jika ada indikasi, lapor dokter jika ada reaksi tak diinginkan, termasuk reaksi alergi.

Di masyarakat masih ada kesalahpahaman. Jika timbul reaksi alergi obat dianggap dokter salah memberikan obat. Untunglah pemahaman tersebut sekarang sudah berkurang meski sesekali masih juga terjadi, bahkan ada pasien menuntut dokter karena dia mengalami alergi obat.

Di negara yang layanan kesehatannya sudah maju, seperti di Amerika Serikat, kejadian alergi obat berat (misalnya Steven Johnson) masih ada sekitar 300 kejadian setiap tahun. Tetapi, karena masyarakat sudah memahami alergi obat, mereka tidak lagi menyalahkan dokter.

Sebenarnya sudah dikembangkan tes untuk meramalkan alergi obat, tetapi belum akurat. Jadi, cara terbaik adalah menggunakan obat jika perlu saja, komunikasi yang baik dengan dokter, terutama pengalaman alergi obat, dan memantau reaksi yang timbul setelah minum obat.

Saya memahami beban yang dihadapi keluarga Anda akibat alergi obat yang berat ini. Mudah-mudahan Anda sudah dapat bekerja kembali dan Anda sekeluarga sehat selalu.

Artikel Yang Berhubungan



1 komentar:

Anonim mengatakan...

haha..iya

tiap orang kan memiliki genetika yang berbeda-beda sehingga respon obat pun dapat berbeda satu sama lain..namanya polimorfisme..

LABELS

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

Lijit Search Wijit

Blog Archive