Jumat, 25 Juni 2010

Menjamin Akses Pelayanan Kesehatan Warga


Surono menawarkan mobilnya. Pegawai perusahaan swasta itu terpaksa menjual mobil satu-satunya untuk membiayai kemoterapi putranya yang menderita kanker.

Di tengah mahalnya biaya pengobatan, apalagi untuk penyakit berat, seperti kanker atau gangguan jantung, sakit bisa membuat sebuah keluarga menjadi bangkrut. Bagi mereka yang status ekonominya lebih rendah terpaksa pasrah menanti ajal.

Di negara maju yang memiliki jaminan sosial kesehatan, hal seperti ini tidak perlu terjadi. Sistem memungkinkan warga yang sakit mendapatkan pengobatan sesuai dengan yang diperlukan.

Prof Dr dr Hasbullah Thabrany, ahli ekonomi kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, memperkirakan, saat ini di Indonesia baru sekitar 50 persen penduduk mendapat jaminan pelayanan kesehatan. Sebagian besar (sekitar 76 juta penduduk) memperoleh lewat jaminan kesehatan masyarakat yang disediakan pemerintah untuk penduduk miskin.

Sebagian lain dijamin asuransi kesehatan bagi pegawai negeri (sekitar 16 juta), asuransi sosial tenaga kerja (sekitar 4 juta), dan asuransi kesehatan swasta maupun dijamin perusahaan (sekitar 5 juta). Selain itu, sejumlah pemerintah daerah memberikan jaminan pelayanan kesehatan bagi warganya, seperti di Provinsi Sumatera Selatan dan Aceh serta Kabupaten Jembrana, Bali.

Sebenarnya Indonesia sudah memiliki undang-undang untuk menjamin kesejahteraan sosial warganya, termasuk kesehatan, yaitu Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sayangnya, UU yang diundangkan pada Oktober 2004 itu hingga kini belum ada tanda-tanda dilaksanakan.

Hal yang bisa mendorong pelaksanaan UU SJSN, menurut Hasbullah, adalah tekanan masyarakat seperti saat peringatan Hari Buruh 1 Mei lalu. Serikat pekerja berunjuk rasa minta pelaksanaan jaminan kesehatan dan pensiun. Selain itu, tekanan hukum, seperti gugatan Komite Aksi Jaminan Sosial, beranggotakan 54 organisasi massa serikat buruh, serikat tani dan serikat nelayan seluruh Indonesia, terhadap Presiden, Wakil Presiden, Ketua DPR, dan sejumlah menteri, terkait tidak terlaksananya jaminan sosial untuk rakyat sebagaimana amanat UU SJSN. Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 10 Juni 2010.

Menurut anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka, dari 10 peraturan pemerintah dan sembilan peraturan presiden yang diamanatkan UU SJSN, pemerintah baru menerbitkan satu peraturan presiden, yaitu tentang tata kerja dan organisasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Menurut dr Surya Chandra Surapaty, anggota Komisi IX DPR, untuk mendorong pelaksanaan UU SJSN, DPR mengajukan hak inisiatif berupa RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Menurut Surya Chandra, yang juga Ketua Tim Kerja RUU BPJS, diharapkan RUU yang kini diharmonisasi di Badan Legislasi bisa dibawa ke rapat paripurna 12 Juli dan pada 16 Agustus terbit amanat presiden untuk menentukan mitra pembahasan RUU BPJS. Ditargetkan pembahasan RUU ini selesai pada Desember 2010.

”BPJS harus dibentuk dengan UU, seperti amanat Pasal 5 Ayat 1 UU SJSN. Selama UU BPJS belum ada, sulit bagi empat badan yang ditunjuk UU SJSN menyesuaikan diri menjadi BPJS. Semua fraksi di DPR sepakat melebur empat BPJS, yaitu PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen), PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri), dan PT Asuransi Kesehatan (Askes), sebagai lembaga tunggal berbentuk badan hukum publik wali amanah, bukan sebagai BUMN atau BUMN khusus. BPJS bertanggung jawab kepada presiden melalui DJSN,” kata Surya Chandra.

Badan ini akan mengelola iuran masyarakat. Iuran penduduk miskin dibayar pemerintah. Ada lima jaminan yang akan dikelola, yaitu jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian. BPJS bersifat nirlaba, keuntungan tidak disetorkan kepada pemerintah, tetapi untuk pengembangan program bagi kepentingan peserta.

Prioritas

Nantinya seluruh penduduk wajib menjadi peserta program jaminan sosial, tetapi pelaksanaannya bertahap. Prioritasnya pengadaan jaminan kesehatan. Diharapkan dalam lima tahun seluruh penduduk Indonesia tercakup jaminan kesehatan.

Sistem jaminan sosial akan memperbaiki sistem pelayanan kesehatan nasional karena sistem ini menuntut tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan, seperti puskesmas dan rumah sakit, merata di semua daerah. Sistem ini akan memaksa berlakunya sistem rujukan berjenjang, mulai dari dokter keluarga/puskesmas, rumah sakit daerah, hingga rumah sakit pusat. Sistem ini juga akan memaksa dokter meresepkan obat secara rasional dengan obat yang sudah ditentukan, termasuk obat generik.

Namun, syarat terlaksananya sistem jaminan sosial adalah data kependudukan yang lengkap dan detail, ada nama, tidak hanya menyebut jumlah. Hal ini menjadi tantangan karena sensus penduduk pada Mei lalu masih dipertanyakan kesahihannya.

Menurut Hasbullah, BPJS sebaiknya satu badan supaya efisien dan tidak ada perbedaan untuk seluruh penduduk. Pelaksanaannya bertahap. Misalnya, setiap perusahaan diwajibkan menyediakan asuransi kesehatan untuk pegawai. Adapun sektor informal dijamin negara dengan premi sebesar Rp 14.500 per orang. ”Ini harga keekonomian yang layak bagi tenaga medik dan fasilitas pelayanan kesehatan. Kalau pemerintah bersedia membayar untuk sektor migas, mengapa bagi sektor kesehatan tidak dilakukan,” katanya.

Kekhawatiran pemerintah tidak memiliki dana cukup untuk membayar iuran penduduk miskin sebenarnya tidak perlu. Sistem ini bersifat subsidi silang. Penduduk dikenai iuran sesuai dengan penghasilan dan akan menerima manfaat sesuai dengan yang dibutuhkan. Berdasarkan pengalaman PT Askes, hanya 25 persen jumlah peserta yang sakit per tahun dan yang dirawat inap hanya 0,6 persen jumlah peserta.

Pengelolaan

Direktur Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Prof Dr dr Laksono Trisnantoro mempertanyakan kemampuan badan penyelenggara yang berdasarkan RUU BPJS hanya satu lembaga. ”Bagaimana kapasitas manajemen satu lembaga yang akan mengelola dana sekitar Rp 300 triliun-Rp 500 triliun dan menyangkut berbagai aspek yang sarat politik, mulai dari asuransi kesehatan sampai ke jaminan pensiun,” katanya.

Seharusnya UU SJSN menjadi UU payung sebagaimana Social Security Act di AS. Kemudian, disusun UU khusus tentang asuransi kesehatan yang, antara lain, mengatur sumber dana, baik pemerintah pusat maupun daerah, pengaturan menyangkut peran Kementerian Kesehatan dan dinas kesehatan, pengawasan mutu dan manajemen pelayanan, biaya terkait pelayanan, pembayaran bagi tenaga kesehatan, distribusi sarana dan tenaga kesehatan, dan sebagainya.

Terlepas dari perdebatan itu, rakyat Indonesia menunggu kemauan politik pemerintah untuk benar-benar melaksanakan SJSN. Dengan terpenuhinya kesejahteraan masyarakat, minimal akses penduduk pada pelayanan kesehatan, diharapkan kualitas sumber daya manusia Indonesia bisa meningkat dan menjadi modal bangsa untuk maju. (Atika Walujani/Ninuk M Pambudy)



Sumber
Kompas

Mau dapat uang Gratis, dapat kan di http://roabaca.com/forum/index.php/topic,87.0.html

Artikel Yang Berhubungan



0 komentar:

LABELS

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

Lijit Search Wijit

Blog Archive