Selasa, 22 Juni 2010

Sok Paling Kuasa Vs Realitas


Sigmund Freud, pionir dan pakar psikoanalisis, mendasarkan pemahaman perbedaan karakter jender pada perbedaan bentuk dan fungsi organ tubuh manusia, terutama pada alat kelaminnya.

Kepemilikan penis pada lelaki mendorong posisi lelaki lebih tinggi, lebih perkasa, dan lebih dominan dibandingkan dengan perempuan. Oleh karena itu, kecemburuan perempuan akan kepemilikan penis yang disebut dengan istilah penis envy pada lelaki dikompensasikan melalui kemampuan perempuan melahirkan bayi.

Tetap saja kompensasi tersebut tidak menurunkan posisi keperkasaan lelaki di hadapan perempuan. Dari bukti tatanan budaya manusia pada umumnya pun, posisi suami diletakkan lebih tinggi dari perempuan. Ungkapan lelaki pencari nafkah, pengayom keluarga, lelaki harus diladeni, lelaki penentu keputusan dalam keluarga, lelaki ”seolah” mendapat pembenaran budaya untuk bersikap dominan dalam keluarga. Lelaki harus dihargai dan dibenarkan dengan cara apa pun untuk mempertahankan tingginya harga dirinya dalam keluarga; lelaki selingkuh bahkan melakukan poligami tanpa seizin istri seyogianya dimaafkan; perempuan selingkuh harus diceraikan dan sebagainya.

Ekses lanjut dari posisi tersebut, lelaki-suami sulit sekali meminta maaf bila bersalah, mau menang sendiri dan berbuat semena-mena, tanpa mempertimbangkan perasaan perempuan-istri. Posisi perempuan pun disudutkan ke dalam posisi harus patuh, menurut, harus bersikap rendah hati, bahkan kalau mungkin rendah diri, dan sangat populer disebut sebagai ”konco wingking” atau teman yang posisinya di belakang, seperti di sumur, dapur, kasur. Ungkapan-ungkapan tersebut terkesan dipegang teguh lelaki hingga saat ini walaupun sering kenyataan hidup yang dijalani sebenarnya berlawanan.

Era perempuan

Sementara itu, J Naisbitt meramalkan bahwa abad ke-21 adalah era perempuan. Ramalan tersebut telah pula menjadi kenyataan, saat ini kebanyakan perempuan berkeluarga, berkarya dan sekaligus berkarier, yang membuka peluang bagi perempuan untuk memperoleh penghasilan lebih tinggi, karya yang lebih berkualitas, dan karier yang lebih tinggi.

Sementara itu, justru dengan kondisi sosial-ekonomi yang dilanda krisis belakangan ini lelaki banyak yang terkena PHK, atau memang pada dasarnya malas berusaha dan menikmati hidup sebagai penganggur dan membiarkan perempuan-istri jungkir balik memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Ironisnya, ungkapan-ungkapan keperkasaan tersebut tetap dipertahankan dan berlanjut dicari pembenarannya, lelaki-suami ingin diladeni lahir-batin, ingin diistimewakan, ingin di nomorsatukan dalam kehidupan berkeluarga.

Ny I (39)

”Ibu, saya telah 16 tahun menikah dengan satu anak laki-laki. Saya bekerja di sebuah perusahaan swasta sejak belum menikah hingga saat ini. Pada awal pernikahan sebenarnya suami saya bekerja di satu kementerian sebagai PNS. Setelah 2 tahun pernikahan, suami mengundurkan diri dari PNS dengan motif mau usaha sendiri dengan alasan PNS gajinya kecil.

Sebetulnya saat itu saya kurang setuju karena kami tidak punya modal usaha, tetapi dia bersikeras sehingga saya tidak berdaya untuk menahannya. Tapi, sejak keluar dari pekerjaannya, saat saya pagi-pagi berangkat ke kantor, dia masih tidur, terkadang saya coba membangunkan untuk shalat subuh, tapi dia marah dan langsung tidur lagi, saya tidak tahu jam berapa dia bangun.

Tentu saja kondisi tersebut membuat saya merasa lebih daripada suami dan tanpa sadar saya memang mendominasi kehidupan keluarga. Segala keputusan saya yang ambil karena saya adalah pencari uang keluarga. Namun, dalam tiga bulan terakhir ini saya menemukan SMS dalam HP suami yang berasal dari perempuan yang memang saat suami mahasiswa tertarik pada suami. Sebenarnya perempuan itu sudah bersuami dan kondisi sosial ekonomi suaminya pun sangat mapan.

Saya terkejut dan saya sadar sekali bahwa selama ini saya sudah memperlakukan suami tidak sesuai dengan kodrat saya sebagai istri. Saya langsung minta maaf dan mengubah sikap. Saya tidak pernah berani marah lagi, saya ladeni dia lahir-batin, saya turuti kemauannya, saya takut sekali kehilangan suami dan memohon agar dia memutuskan hubungan dengan perempuan yang bersuami tersebut.

Tapi, apa reaksinya, ”Aku masih sakit hati dengan perlakuanmu dulu. Aku perlu waktu untuk memaafkan kamu. Aku juga tidak maksud apa pun dengan perempuan itu, dia hanya minta nasihat, curhat, dan aku pun tidak pernah menemuinya. Tidak ada niatku untuk menghubungi dia. Jadi tunggulah aku suatu saat pun akan menghentikan hubungan melalui SMS ini”, dengan marah dan keras suaranya.

Bu, suami saya mengatakan bahwa ia akan jujur dan terbuka tentang hubungan lewat SMS itu pada saya. Hal itu dibuktikan saat bepergian dengan saya dan dia sedang menyopir mobil, bila datang SMS dari perempuan itu, sambil menyetir pun dia langsung membalas SMS, tanpa memedulikan perasaan saya.

Sakit hati saya, Bu, dan kalau saya menangis, dia marah, membentak, ”Apa, sih yang ditangisi, kan aku bilang tidak ada apa-apa antara aku dengan perempuan itu. Aku bosan membicarakan masalah ini”.

Ibu, saya sakit hati sekali, saya sering menangis, saya tidak bisa tidur nyenyak dan selera makan saya pun hilang, berat badan saya turun 5 kilogram.”

Analisis ”sense of mastery ”

Tampak jelas bahwa Tn I amat mempertahankan posisi sebagai master dalam keluarga sehingga sikap istri yang mendominasi membuat dirinya sakit hati berlanjut. Namun, rasa sakit hatinya tidak diikuti dengan usaha yang kuat dan keras untuk mengambil alih posisi istri sebagai pencari nafkah keluarga, bahkan tampak tetap bermalas-malasan.

Kehadiran perempuan beristri selama 3 bulan terakhir ini, melalui SMS, menjadi senjata ampuh untuk membalas dendam terhadap perlakuan istri yang dirasa tidak menghargai posisinya sebagai ”suami” beberapa tahun berlalu, tanpa menyadari bahwa peran suami yang seyogianya dia mampu sama sekali tidak dilakukannya

Kehadiran perempuan bersuami yang mengirim SMS menjadi penguat kecenderung Tn I untuk tetap membenarkan posisi master dalam kehidupan berkeluarga.

Jadi, masih bijakkah sikap kita terhadap masalah sense of mastery dalam era masa kini untuk tetap dibenarkan dan dipertahankan? Mengapa tidak mulai menempatkan posisi suami-istri sebagai mitra sejajar yang saling menghormati dan menghargai serta saling mengasihi tanpa pretensi apa pun, satu sama lain?

Sawitri Supardi Sadarjoen, psikolog



Sumber
kompas

Mau dapat uang Gratis, dapat kan di http://roabaca.com/forum/index.php/topic,87.0.html

Artikel Yang Berhubungan



0 komentar:

LABELS

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

Lijit Search Wijit

Blog Archive